Archive

Archive for the ‘Islam’ Category

Menyingkap Aqidah Rububiyah wahabi


 

Berikut adalah sebagian daripada terjemahan dari Fatwa yang telah dikeluarkan oleh Pusat Fatwa Mesir berkaitan kesesatan Pembagian Tauhid ala Taymiyyah dan Wahhabiyyah. Oleh kerana sumber fatwanya yang asli agak panjang maka kami pilih yang inti-intinya saja.


TERJEMAHAN:

“Dan pembagian Tauhid kepada Uluhiyyah dan Rububiyyah adalah terhadap pembagian yang baru yang tidak datang kepada generasi Salafus Soleh. Dan orang pertama yang mempeloporinya – mengikut pendapat yang masyhur – ialah Sheikh Ibnu Taymiyyah (semoga Allah merahmati beliau).

Melainkan beliau membawanya kepada had yang melampau sehingga menyangka bahwa Tauhid Rububiyyah semata-mata tidak cukup untuk beriman, dan bahwa sesungguhnya golongan Musyrikin itu bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan sesungguhnya kebanyakan dari golongan umat Islam pada Mutakallimin (ulama’ tauhid yang menggabungkan naqli dan aqli) dan selain daripada mereka hanyalah bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan mengabaikan Tauhid Uluhiyyah.

Dan pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya Tauhid Rububiyyah saja tidak cukup untuk menentukan keimanan adalah pendapat yang bid’ah dan bertentangan dengan ijma’ umat Islam sebelum Ibnu Taymiyyah.

Dan pemikiran-pemikiran takfir ini sebenarnya bersembunyi dengan pendapat-pendapat yang sesat, dan menjadikannya sebagai jalan untuk menuduh umat Islam dengan syirik dan kufur dengan menyandarkan setiap pemahaman yang salah ini kepada Sheikh Ibnu Taymiyyah (semoga Allah merahmatinya) adalah tiada lain sebuah tipu daya dan usaha menakutkan yang dijalankan oleh pendukung-pendukung pendapat luar (yang bukan dari Islam ) untuk memburuk-burukkan kehormatan umat Islam.

Dan inilah sebenarnya hakikat dari mazhab golongan Khawarij dan telah banyak nas-nas Syariat menyuruh agar kita berhati-hati dan tidak terjebak ke dalam kebathilannya.”

Pembahasan :

1. Syirik dan Tauhid (Iman) tidak mungkin bersatu. Hal ini adalah 2 perkara yang berlawanan seperti siang dengan malam. “Tidak boleh berkumpul antara iman dan kikir di dalam hati orang yang beriman selama-lamanya” [HR Ibn Adiy].

lihatlah : iman dan bakhil saja tidak akan bercampur! apalagi iman dengan KUfur!!!! TIDAK ADA SEBUTAN UMMAT BERTAUHID BAGI YANG TAUHIDNYA BERCAMPUR DGN KUFUR, YANG ADA ADALAH “MUSYRIK” SECARA MUTLAK!.

2. Orang kafir di nash kafir tidak layak disebut bertauhid (dengan tauhid apapun) bahkan orang yang telah masuk islam tapi melakukan perbuatan yang membuat mereka kufur, itupun tak layak mendapat sebutan bertauhid dan di nash sebagai KAFIR SECARA MUTLAK!

Dalil Kufur Fi’li: Maknanya: “Janganlah kalian bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan…” (Q.S. Fushshilat: 37).

Dalil Kufur Qauli: Maknanya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka katakan) tentulah mereka akan menjawab sesungguhnya kami hanyalah bersendagurau dan bermain-main saja. Katakanlah apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu berolok-olok , tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman …” (Q.S. at-Tubah 65-66).

Maknanya: “Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka telah mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kufur dan menjadi kafir sesudah mereka sebelumnya muslim …” (Q.S. at-Taubah: 74)

3. Iman itu yakin sepenuhnya dalam hati, diucapkan dgn lisan dan diamalkan dengan lisan. Orang hanya ucapannya saja itu tak layak disebut beriman/bertauhid!.

Maknanya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu…” (Q.S. al Hujurat: 15).

4. Tidak ada pembagaian Tauhid rububiyah dan uluhiyah. Tauhid uluhiyah ialah tauhid rububiyah dan tidak bisa dipisah.

Dari abu dzar ra. berkata, rasulullah saw bersabda : “Tidaklah seorang hamba Allah yang mengucapkan Laa ilaha illallah kemudian mati dengan kalimat itu melainkan ia pasti masuk sorga”, saya berkata : “walaupun ia berzina dan mencuri?”, Beliau menjawab :” walaupun ia berzina dan mencuri”, saya berkata lagi : “walaupun ia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab :” walaupun ia berzina dan mencuri, walaupun abu dzar tidak suka” (HR imam bukhary, bab pakaian putih, Hadis no. 5827). Lihat ratusan hadis ttg kalimat tauhid laa ilaha illah dalam kutubushitah!

Kalimat “laailaha illalllah” mencakup rububiyah dan uluhiyah, kalau saja uluhiayah tak mencukupi, maka syahadat ditambah : “laa ilaha wa rabba illallah” tapi nyatanya begitu!!.

hadis tentang pertanyaan malaikat munkar nakir di kubur : “Man rabbuka?”
kalaulah tauhid rububiyah tak mencukupi, pastilah akan ditanya : Man rabbuka wa ilahauka?, tapi nyatanya tidak!!.

5. WAHABY MENGGELARI ORANG YANG DI NASH KAFIR SECARA MUTLAK OLEH ALLAH DAN RASUL-NYA DENGAN GELAR “UMAT BERTAUHID RUBUBIYAH”

– orang kafir tetap di sebut kafir secara mutlak, tak ada satupun gelaran “tauhid” bagi mereka! lihat QS. Az Zukhruf ayat 88.

86. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)1368.

87.Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?,88.dan (Allah mengetabui) ucapan Muhammad: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman (tidak bertauhid DI NASH KAFIR SECARA MUTLAK!!)”.


89.Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: “Salam (selamat tinggal).” Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).
(QS. Az Zukhruf : 86-89)


Orang kafir menurut tauhid rububiyah wahaby sendiri tidak yakin 100% kerububiyahan Allah
MEREKA MASIH MENYAKINI BERHALA-BERHALA BISA MEMBERI MANFAAT!!! Mereka telah di nash kafir atau tidak ada iman oleh Allah dan rasulnya!, tak ada satupun gelaran “tauhid” bagi mereka! lihat QS. Az Zukhruf ayat 88.

Sedangkan “seorang kafir tidak mungkin muslim apalagi mu’min (beriman/bertauhid)“
dan “seorang mu’min itu pasti muslim, tetapi seorang muslim belum tentu mu’min” sesuai dengan firman Allah :“Surat alHujurat : 14

Jadi , muslim = orang islam (secara hukum) sudah syhadatain munafiq = muslim (secara hukum) yang bukan mu’min, dhahirnya muslim tapi aqidahnya belum betul.

mu’min = orang yang iman betul dan kuat dan pasti muslim kafir = bukan bukan muslim apalagi mu’min


‘Orang-orang Arab Badui berkata, “kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu … ”


kenapa wahaby menghukumi orang kafir sebagai “umat bertauhid/beriman rububiyah”????

Kesimpulan (silahkan rujuk pusat fatwa al-azhar mesir):

orang Wahabi mengatakan : orang kafir mengakui adanya Allah tetapi mereka menyembah selain Allah. Jadi, kata mereka, ada orang yang mengakui adanya Tuhan tetapi menyembah selain Tuhan adalah bertauhid Rububiyah iaitu Tauhidnya orang yang mempersekutukan Allah. Adapun Tauhid Uluhiyah ialah tauhid yang sebenar-benarnya iaitu mengesakan Tuhan sehingga tidak ada yang disembah selain Allah.

Demikian pengajian Wahabi.Pengajian seperti ini tidak pernah ada sejak dahulu. hairan kita melihat falsafahnya. Orang kafir yang mempersekutukan Tuhan digelar kaum Tauhid. Adakah Sahabat-sahabat Nabi menamakan orang musyrik sebagai ummat Tauhid? Tidak!

Syirik dan Tauhid tidak mungkin bersatu. Hal ini adalah 2 perkara yang berlawanan bagai siang dengan malam. Mungkinkah bersatu siang dengan malam serentak?Begitulah juga tidak adanya syirik dan tauhid bersatu dalam diri seseorang. Sama ada dia Tauhid atau Musyrik. Tidak ada kedua-duanya sekali. Jelas ini adalah ajaran sesat dan bidaah yang dipelopori oleh puak Wahabi & kini telah merebak ke dalam pengajian Islam terutamanya di Timur Tengah. Kaum Wahabi yang sesat ini menciptakan pengajian baru dengan maksud untuk menggolongkan manusia yang datang menziarahi makam Nabi di Madinah, bertawasul dan amalan Ahlussunnah wal Jamaah yang lain sebagai orang “kafir” yang bertauhid Rububiyah dan yang mengikuti mereka saja adalah tergolong dalam Tauhid Uluhiyah.

Teks aslinya berbahasa Arab, silalah merujuk ke:

http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=6623

 

Categories: Islam Tags: , , ,

Menyingkap Aqidah Rububiyah – Uluhiyah Wahhaby


 

Berikut adalah sebagian daripada terjemahan dari Fatwa yang telah dikeluarkan oleh Pusat Fatwa Mesir berkaitan kesesatan Pembagian Tauhid ala Taymiyyah dan Wahhabiyyah. Oleh kerana sumber fatwanya yang asli agak panjang maka kami pilih yang inti-intinya saja.


TERJEMAHAN:

“Dan pembagian Tauhid kepada Uluhiyyah dan Rububiyyah adalah terhadap pembagian yang baru yang tidak datang kepada generasi Salafus Soleh. Dan orang pertama yang mempeloporinya – mengikut pendapat yang masyhur – ialah Sheikh Ibnu Taymiyyah (semoga Allah merahmati beliau).

Melainkan beliau membawanya kepada had yang melampau sehingga menyangka bahwa Tauhid Rububiyyah semata-mata tidak cukup untuk beriman, dan bahwa sesungguhnya golongan Musyrikin itu bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan sesungguhnya kebanyakan dari golongan umat Islam pada Mutakallimin (ulama’ tauhid yang menggabungkan naqli dan aqli) dan selain daripada mereka hanyalah bertauhid dengan Tauhid Rububiyyah dan mengabaikan Tauhid Uluhiyyah.

Dan pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya Tauhid Rububiyyah saja tidak cukup untuk menentukan keimanan adalah pendapat yang bid’ah dan bertentangan dengan ijma’ umat Islam sebelum Ibnu Taymiyyah.

Dan pemikiran-pemikiran takfir ini sebenarnya bersembunyi dengan pendapat-pendapat yang sesat, dan menjadikannya sebagai jalan untuk menuduh umat Islam dengan syirik dan kufur dengan menyandarkan setiap pemahaman yang salah ini kepada Sheikh Ibnu Taymiyyah (semoga Allah merahmatinya) adalah tiada lain sebuah tipu daya dan usaha menakutkan yang dijalankan oleh pendukung-pendukung pendapat luar (yang bukan dari Islam ) untuk memburuk-burukkan kehormatan umat Islam.

Dan inilah sebenarnya hakikat dari mazhab golongan Khawarij dan telah banyak nas-nas Syariat menyuruh agar kita berhati-hati dan tidak terjebak ke dalam kebathilannya.”

Pembahasan :

1. Syirik dan Tauhid (Iman) tidak mungkin bersatu. Hal ini adalah 2 perkara yang berlawanan seperti siang dengan malam. “Tidak boleh berkumpul antara iman dan kikir di dalam hati orang yang beriman selama-lamanya” [HR Ibn Adiy].

lihatlah : iman dan bakhil saja tidak akan bercampur! apalagi iman dengan KUfur!!!! TIDAK ADA SEBUTAN UMMAT BERTAUHID BAGI YANG TAUHIDNYA BERCAMPUR DGN KUFUR, YANG ADA ADALAH “MUSYRIK” SECARA MUTLAK!

2. Orang kafir di nash kafir tidak layak disebut bertauhid (dengan tauhid apapun) bahkan orang yang telah masuk islam tapi melakukan perbuatan yang membuat mereka kufur, itupun tak layak mendapat sebutan bertauhid dan di nash sebagai KAFIR SECARA MUTLAK!

Dalil Kufur Fi’li: Maknanya: “Janganlah kalian bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan…” (Q.S. Fushshilat: 37).

Dalil Kufur Qauli: Maknanya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka katakan) tentulah mereka akan menjawab sesungguhnya kami hanyalah bersendagurau dan bermain-main saja. Katakanlah apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu berolok-olok , tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman …” (Q.S. at-Tubah 65-66).

Maknanya: “Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka telah mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kufur dan menjadi kafir sesudah mereka sebelumnya muslim …” (Q.S. at-Taubah: 74)

3. Iman itu yakin sepenuhnya dalam hati, diucapkan dgn lisan dan diamalkan dengan lisan. Orang hanya ucapannya saja itu tak layak disebut beriman/bertauhid!.

Maknanya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu…” (Q.S. al Hujurat: 15).

4. Tidak ada pembagaian Tauhid rububiyah dan uluhiyah. Tauhid uluhiyah ialah tauhid rububiyah dan tidak bisa dipisah.

Dari abu dzar ra. berkata, rasulullah saw bersabda : “Tidaklah seorang hamba Allah yang mengucapkan Laa ilaha illallah kemudian mati dengan kalimat itu melainkan ia pasti masuk sorga”, saya berkata : “walaupun ia berzina dan mencuri?”, Beliau menjawab :” walaupun ia berzina dan mencuri”, saya berkata lagi : “walaupun ia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab :” walaupun ia berzina dan mencuri, walaupun abu dzar tidak suka” (HR imam bukhary, bab pakaian putih, Hadis no. 5827). Lihat ratusan hadis ttg kalimat tauhid laa ilaha illah dalam kutubushitah!

Kalimat “laailaha illalllah” mencakup rububiyah dan uluhiyah, kalau saja uluhiayah tak mencukupi, maka syahadat ditambah : “laa ilaha wa rabba illallah” tapi nyatanya begitu!!.

hadis tentang pertanyaan malaikat munkar nakir di kubur : “Man rabbuka?”
kalaulah tauhid rububiyah tak mencukupi, pastilah akan ditanya : Man rabbuka wa ilahauka?, tapi nyatanya tidak!!.

5. WAHABY MENGGELARI ORANG YANG DI NASH KAFIR SECARA MUTLAK OLEH ALLAH DAN RASUL-NYA DENGAN GELAR “UMAT BERTAUHID RUBUBIYAH”

– orang kafir tetap di sebut kafir secara mutlak, tak ada satupun gelaran “tauhid” bagi mereka! lihat QS. Az Zukhruf ayat 88.

86. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)1368.

87.Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?,88.dan (Allah mengetabui) ucapan Muhammad: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman (tidak bertauhid DI NASH KAFIR SECARA MUTLAK!!)”.

89.Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: “Salam (selamat tinggal).” Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).

(QS. Az Zukhruf : 86-89)

Orang kafir menurut tauhid rububiyah wahaby sendiri tidak yakin 100% kerububiyahan Allah
MEREKA MASIH MENYAKINI BERHALA-BERHALA BISA MEMBERI MANFAAT!!! Mereka telah di nash kafir atau tidak ada iman oleh Allah dan rasulnya!, tak ada satupun gelaran “tauhid” bagi mereka! lihat QS. Az Zukhruf ayat 88.

Sedangkan “seorang kafir tidak mungkin muslim apalagi mu’min (beriman/bertauhid)“
dan “seorang mu’min itu pasti muslim, tetapi seorang muslim belum tentu mu’min” sesuai dengan firman Allah :“Surat alHujurat : 14

Jadi , muslim = orang islam (secara hukum) sudah syhadatain munafiq = muslim (secara hukum) yang bukan mu’min, dhahirnya muslim tapi aqidahnya belum betul.

mu’min = orang yang iman betul dan kuat dan pasti muslim kafir = bukan bukan muslim apalagi mu’min

‘Orang-orang Arab Badui berkata, “kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu … ”


kenapa wahaby menghukumi orang kafir sebagai “umat bertauhid/beriman rububiyah”????

Kesimpulan (silahkan rujuk pusat fatwa al-azhar mesir):


orang Wahabi mengatakan : orang kafir mengakui adanya Allah tetapi mereka menyembah selain Allah. Jadi, kata mereka, ada orang yang mengakui adanya Tuhan tetapi menyembah selain Tuhan adalah bertauhid Rububiyah iaitu Tauhidnya orang yang mempersekutukan Allah. Adapun Tauhid Uluhiyah ialah tauhid yang sebenar-benarnya iaitu mengesakan Tuhan sehingga tidak ada yang disembah selain Allah.

Demikian pengajian Wahabi.Pengajian seperti ini tidak pernah ada sejak dahulu. hairan kita melihat falsafahnya. Orang kafir yang mempersekutukan Tuhan digelar kaum Tauhid. Adakah Sahabat-sahabat Nabi menamakan orang musyrik sebagai ummat Tauhid? Tidak!

Syirik dan Tauhid tidak mungkin bersatu. Hal ini adalah 2 perkara yang berlawanan bagai siang dengan malam. Mungkinkah bersatu siang dengan malam serentak?Begitulah juga tidak adanya syirik dan tauhid bersatu dalam diri seseorang. Sama ada dia Tauhid atau Musyrik. Tidak ada kedua-duanya sekali. Jelas ini adalah ajaran sesat dan bidaah yang dipelopori oleh puak Wahabi & kini telah merebak ke dalam pengajian Islam terutamanya di Timur Tengah. Kaum Wahabi yang sesat ini menciptakan pengajian baru dengan maksud untuk menggolongkan manusia yang datang menziarahi makam Nabi di Madinah, bertawasul dan amalan Ahlussunnah wal Jamaah yang lain sebagai orang “kafir” yang bertauhid Rububiyah dan yang mengikuti mereka saja adalah tergolong dalam Tauhid Uluhiyah.

Teks aslinya berbahasa Arab, silalah merujuk ke:

http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=6623

 

Karakteristik Manhaj ” Salafi ” Waspadalah !!!


 

Mungkin saat kita berdiskusi dengan golongan yang mengaku sebagai salafi, salafiyun atau salafush shalih, akan menimbulkan kesan bahwa golongan ini merasa paling benar sendiri dan cenderung mencela golongan lain. Sehingga tidak ada golongan yang begitu aktif mencela golongan lain selain salafi, baik melalui buku-buku dan website mereka, kasus mutakhir adalah buku Rapot Merah Aa` Gym. Secara tidak sengaja penulis memperoleh jawaban atas karakter salafi tersebut dari sebuah buku karangan ulama salafi dengan judul Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah karangan Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi.

Buku tersebut bukan sebuah buku yang berisi celaan semata, tetapi buku yang telah direkomendasikan dan disetujui oleh salah satu ulama salafi Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, di halaman depan terdapat surat rekomendasi dari Shalih bin Fauzan untuk menerbitkan buku tersebut :

“…Sungguh, komentar (ta’liq)-nya telah mencukupi. Dan saya ijinkan untuk menerbitkan dan menyebarkannya. Mudah-mudahan Allah SWT menjadikan risalah ini bermanfaat untuk manusia”

Artinya, buku ini dapat digunakan sebagai representasi sikap salafi terhadap golongan yang berbeda pendapat (ijtihad) dengan mereka. Di samping itu, apa yang tertera di dalam buku tersebut juga diperkuat lagi dengan buku-buku salafi yang lain dan website-website salafi.

Mungkin buku tersebut dimaksudkan memberikan nasehat kepada golongan yang dianggap menyalahi as-Sunnah dan mereka yang tidak termasuk golongan salafi, tetapi secara tidak sadar buku tersebut telah menelanjangi KARAKTER ASLI SALAFI. Dalam tulisan ini akan diungkapkan karakter salafi dan bantahan terhadap pendapat mereka. Karakter-karakter salafi dapat kita simpulkan sebagai berikut :

1. Merasa dirinya paling benar

Salafi satu-satunya golongan yang selamat, yang benar dan yang masuk syurga

Salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan yang selamat dan masuk syurga, sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan bid’ah dan akan masuk neraka. Hadits tersebut berbunyi :

Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).

Keyakinan salafi ini diperkuat oleh kaidah yang mereka gunakan “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman salafi terhadap hadits Rasulullah SAW :

Rasulullah SAW bersabda: ‘Inilah jalan Allah yang lurus’ Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: ‘Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya’ Kemudian beliau membaca ayat :

Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).

(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).

Dengan mengutip dua hadits tentang; satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan hanya satu jalan yang lurus, maka salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut kedua hadits tersebut. Salafi-lah satu-satunya golongan yang selamat dan masuk syurga, serta golongan yang menempuh jalan yang lurus itu. Simaklah pernyataan salafi :

Dan orang-orang yang tetap di atas manhaj Nabi SAW, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih. Kepada mereka dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan salafi.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 33, catatan kaki).

Kami di atas manhaj yang selamat, di atas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala kebaikan –alhamdulillah-” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 76-77).

Jadi jika benar dia di atas manhaj Rasulullah SAW dan manhaj salafu ash-shalih, maka dia dari ahlu jannah. Bila dia menjadi orang yang berbeda di atas manhaj sesat, maka dia terancam neraka.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 110).

Saya (Abu Abdillah) berkata,’Subhanallah! Bagaimana dia membolehkan dirinya menggabungkan antara manhaj salaf yang benar dengan manhaj-manhaj dan kelompok-kelompok bid’ah yang sesat dan bathil.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 32, catatan kaki)

Jalan merekalah yang harus ditempuh oleh generasi yang datang setelahnya, memahami dengan pemahaman mereka, menerapkan dan mendakwahkannya seperti mereka. Jalan merekalah yang kemudian dikenal dengan istilah manhaj salaf, metode salaf, ajaran salaf atau pemahaman salaf dan lain-lain.” (www.salafy.or.id , Muhammad Umar As-Sewed, Sekali Lagi : Mengapa Harus Manhaj Salaf?).

Akibatnya, sulit bagi salafi untuk menerima ijtihad golongan/ulama lain yang berbeda dengan mereka, karena salafi meyakini kebenaran hanya satu dan salafi-lah pemilik kebenaran itu, karena merekalah golongan yang paling sesuai dengan as-sunnah, yang paling benar, selamat, dan ahlu jannah.

Dalam hadits tersebut ada kata firqah, tapi dalam konteks ini sebagai seseorang/golongan yang dikutuk karena tindakan yang mereka lakukan telah menyimpang dari wahyu Allah. Firqah yang dihukum dan masuk ke dalam api neraka, serta firqah yang selamat dan masuk syurga tidak bisa dinisbatkan kepada golongan tertentu. Oleh karena itu, mereka-mereka yang mengikuti mazhab-mazhab tertentu atau golongan lain selain salafi tidaklah bisa diberi label ‘sesat’. (www.hayatulislam.net , Asif Khan, Kritik: Terbagi ke Dalam 73 Golongan).

Kebenaran hanya milik Allah SWT, bukan milik satu golongan. Bahkan para imam madzhab sendiri tidak pernah mengklaim bahwa diri (madzhab) merekalah yang paling benar, simaklah pernyataan para Imam Madzhab tersebut :

Imam Abu Hanifah (Hanafi):

“Jika suatu hadits shahih, itulah madzhabku”

Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu darimana kami mengambil sumbernya”

Imam Malik (Maliki):

Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Quran dan sunnah, ambillah, dan bila tidak sesuai dengan Al-Quran dan sunnah, tinggalkanlah”

Imam Syafi’i:

“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah SAW, peganglah hadits Rasulullah SAW itu dan tinggalkanlah pendapatku itu”

Imam Ahmad bin Hambal (Hambali):

Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.” (Lihat Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Shalat Nabi, hal. 53-60)

Begitulah para imam madzhab menganjurkan untuk tidak merasa paling benar sendiri dan tidak taqlid kepada satu golongan, merekalah salafus shalih yang benar. Ketika salafi merasa paling benar sendiri, maka salafi bukanlah salafush shalih yang benar seperti yang telah dicontohkan oleh para imam madzhab.

Bahkan diantara imam madzhab terdapat perbedaan ijtihad dalam beberapa masalah furu’, mereka tidak saling membid’ahkan dan menyesatkan satu sama lain. Bahkan menganjurkan untuk menelaah dulu hujjah mereka dan jika ada hujjah yang lebih kuat (quwwatut dalil) silahkan diambil hujjah itu.

Di lain hal, jaminan Allah SWT terhadap hamba-Nya ahli syurga adalah kepada orang yang mukmin, tidak ada klasifikasi apakah mukmin salafi, mukmin ikhwani, mukmin tahriri, mukmin tablighi, dan mukmin-mukmin tertentu saja. Selama mukmin tersebut menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, maka Allah SWT menjanjikan syurga bagi mukmin tersebut.

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka.” (QS At-Taubah 111).

Golongan yang lain adalah sesat dan bid’ah serta lebih berbahaya daripada golongan fasik

Salafi meyakini golongan lain yang berbeda dengan mereka sebagai sesat dan ahlu bid’ah. Golongan bi’dah ini lebih berbahaya dari pada golongan fasik (pelaku maksiat), karena golongan fasik masih bisa dinasehati dan diajak kejalan yang benar karena mereka tahu telah berbuat maksiat, sedangkan ahlu bid’ah tidak tahu bahwa mereka telah sesat, sehingga sulit untuk diajak kejalan yang benar.

Sebab pelaku maksiat masih bisa diharap untuk bertaubat, karena dia merasa berdosa dan tahu bahwa dirinya berbuat maksiat. Berbeda dengan ahli bid’ah, sedikit sekali kemungkinannya untuk bertaubat. Karena mubtadi’ (pelaku bid’ah) menyangka kalau dirinya di atas kebenaraan, dan menyangka bahwa dirinya orang yang taat serta di atas ketaatan.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 22).

Istiqamahnya golongan yang dianggap sesat dan bid’ah oleh salafi dengan pendapat (ijtihad) mereka, adalah hal yang wajar dan dapat dipahami, karena golongan ini mempunyai hujjah yang kuat juga untuk mempertahankan ijtihad mereka. Di sisi lain, perbedaan dalam masalah furu’iyah khilafiyah merupakan hal yang biasa dalam khazanah Islam dan para mujtahid (lihat penjelasan pada poin 2).

Hanya mereka yang berhak menyandang nama salafi

Salafi meyakini bahwa wajib memberikan nama golongan yang selamat itu sebagai salafi dan melarang golongan lain menggunakan nama salafi :

Jadi penisbatan kepada salaf adalah penisbatan yang harus, sehingga jelaslah bagi salafi (pengikut salaf) terhadap al-haq.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 33, catatan kaki).

Oleh karenanya tidak boleh memakai nama salafiyah, bila tidak di atas manhaj salaf.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 34).

Sikap ini menunjukkan rasa ‘ashabiyyah yang kental, dengan menganggap golongannya yang paling benar, padahal Rasulullah SAW mencela sikap ‘ashabiyyah ini :

Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyeru kepada ‘ashabiyyah, orang yang berperang karena ‘ashabiyyah, serta orang yang mati karena ‘ashabiyyah.” (HR Abu Dawud).

Bahkan Shalih bin Fauzan Al-Fauzan yang merekomendasikan kitab “Menepis penyimpangan manhaj Dakwah”, dalam kitabnya Al-Wala’ dan Al-Bara’ melarang bersikap ‘ashabiyyah :

Inilah keadaan orang-orang yang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.” (Lihat Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Al-Wala’ dan Al-Bara’, hal. 63-64).

Bagaimana bisa timbul pertentangan, satu sisi merekomendasikan sebuah kitab yang sangat kental sikap ‘ashabiyyahnya karena merasa golongan yang paling benar dan hanya mengacu kepada ijtihad ulamanya sendiri, tetapi dalam kitab lain melarang orang-orang bersikap ‘ashabiyyah. Ini salah satu pertentangan beberapa kitab diantara ulama-ulama salafi, bahkan dalam satu kitab bisa terjadi pertentangan satu sama lain.

2. Mencela golongan/ulama lain

Tidak boleh berkasih sayang, berteman, semajelis dan shalat di belakang golongan sesat dan bid’ah. Jangan ungkapkan kebaikannya dan selalu ungkapkan keburukan golongan sesat dan bid’ah.

Terkait dengan poin 1 diatas dimana hanya golongan salafilah yang paling benar, mengakibatkan salafi dengan mudah mencela golongan/ulama lain yang berbeda ijtihad dengan mereka, bahkan salafi melarang berkasih sayang dan berteman dengan mereka :

Adapun apabila bermaksud berkasih sayang dengan mereka atau berteman dengan mereka tanpa (ada maksud) mendakwahi dan menjelaskan yang haq, maka tidak boleh. Seseorang tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang menyimpang tersebut, kecuali di dalamnya didapatkan faedah syar’i, yaitu menyeru mereka kepada Islam yang benar dan menjelaskan al-haq agar kembali kepada kebenaran.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 26)

Tidak boleh semajelis dengan mereka :

Abu Qalabah berkata,’Janganlah kalian bermajelis dengan mereka dan jangan kalian bergaul dengan mereka. Sesungguhnya saya tidak merasa aman dari mereka yang akan menceburkan kalian dalam kesesatannya. Atau mengaburkan kebenaran-kebenaran yang telah kalian ketahui.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 111, catatan kaki)

Bahkan salafi tidak boleh shalat di belakang mereka :

Jangan shalat di belakang mereka, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 66, catatan kaki)

Tidak boleh mengungkapkan secuilpun kebaikan mereka, karena mengakibatkan orang awam akan mengikuti mereka, dan harus diungkapkan keburukan-keburukannya :

Apabila engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya, berarti engkau menyeru untuk mengikuti mereka. Jangan… jangan engkau sebutkan kebaikan-kebaikannya. Sebutkan saja penyimpangan-penyimpangan yang ada pada mereka. Karena engkau diserahi untuk menjelaskan kedudukan mereka dan kesalahan-kesalahan agar mereka mau bertaubat, dan agar orang lain berhati-hati terhadapnya.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 28-29)

Begitu berbahayanya golongan yang dianggap sebagai sesat dan bid’ah tersebut, sehingga “nyaris” diperlakukan seperti orang kafir, tidak boleh berteman, berkasih sayang dan semajelis dengan mereka. Karena begitulah perintah Allah SWT dalam memperlakukan orang-orang kafir, mukmin tidak boleh berteman dekat dengan orang kafir :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.” (QS Ali Imran 118).

Tidak boleh semajelis dengan mereka :

Dan sungguh Allah telah menurunkan padamu didalam Al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk berserta mereka. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir didalam neraka jahanam.” (QS An-Nisa’ 140).

Padahal sesama mukmin itu bersaudara, apapun golongan, kebangsaan, dan sukunya, selama ia seorang muslim maka ia saudara bagi muslim yang lain. Rasulullah SAW tidak pernah membedakan antara Abu Bakar dan Umar yang Arab, Bilal yang Habsyi (negro), Salman yang Persi dan Shuhaib yang Rumawi, semuanya sama di hadapan Rasulullah SAW selama mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat 10).

Sesama mukmin tidak boleh saling mencela, mendzalimi dan merendahkan, serta harus berda’wah dengan lemah lembut :

Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; satu sama lain tidak boleh saling mendzalimi, menelantarkan dan merendahkan.” (HR Muslim dan Ahmad).

Maka disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka.” (QS Ali Imran 159)

Golongan sesat dan bid’ah harus dihambat gerakannya dan kalau perlu dimusnahkan

Salafi meyakini golongan lain sesat dan menyesatkan (termasuk partai politik) dan salafi memberikan istilah hizbiyyah atau harakah. Metode da’wah hizbiyyah ini dinilai beraneka ragam, ruwet, lagi kacau. Semuanya harus dihambat gerakannya dan kalau perlu dimusnahkan karena sangat berbahaya bagi masyarakat, karena golongan ini akan meracuni masyarakat dan menyebar perpecahan umat. (Lihat Abul Hasan Musthafa, Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar’iyah, Jilid 1, hal. 39)

Da’i salafiyun tidak boleh memberi kelapangan bagi tersebarnya manhaj-manhaj mereka. Bahkan wajib mempersempit ruang gerak dan memusnahkan manhaj mereka.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 69, catatan kaki).

Sehingga kaum muslimin harus menyatu dalam satu golongan saja, yakni salafi. Tidak boleh ada golongan-golongan lain yang eksis, adanya jamaah-jamaah, kelompok-kelompok atau golongan-golongan menunjukkan adanya perpecahan umat Islam. (Lihat Abul Hasan Musthafa, Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar’iyah, Jilid 1, hal. 39)

Hampir semua golongan dianggap sesat dan menyesatkan oleh salafi, mereka pukul rata antara golongan yang sesat dengan golongan yang benar. Hanya gara-gara beberapa perbedaan ijitihad dalam masalah furu’, dengan mudah salafi menyesatkan golongan tersebut.

Salafi menyesatkan golongan syi’ah (rafidhah) dan Ahmadiyah, salafi juga menyesatkan pula golongan lain yang berbeda ijtihad dalam beberapa hal dengan mereka semisal Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, NII, Tasawuf, dll. (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 95-145).

Saya (Abu Abdillah) berkata,’Ya Allah ya Rabb kami saksikanlah bahwa kami bara’ (berlepas diri) dari dakwah IM dan pendirinya, yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah dan apa-apa yang ada pada pendahulu umat ini.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 26, catatan kaki).

Ulama yang berbeda ijtihad dengan salafi dianggap sesat dan ahlu bid’ah, diharamkan membaca kitab-kitab mereka.

Ulama-ulama besar dan berjasa bagi kebangkitan kaum muslimin tidak luput dari celaan salafi, menganggap mereka ahlu bid’ah, dilarang memuji, mengagungkan mereka, mengharamkan untuk membaca kitab-kitab mereka dan mendengarkan kaset-kaset mereka. Hal ini terjadi karena perbedaan ijtihad dalam beberapa hal saja. Ulama yang mereka anggap sesat dan ahlu bid’ah antara lain; Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Abul A’la Al-Maududi, Taqiyuddin An-Nabhani, Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Surur, Hasan Turabi, Yusuf Qaradhawi, dan lain-lain.

Bahkan ada orang yang memuji-muji: Abul A’la Al-Maududi dan kitab-kitabnya, Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Hasan Turabi dan yang semisal mereka dari kalangan ahlu bid’ah.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 129, catatan kaki).

Tidak boleh membaca kitab-kitab ahlu bid’ah maupun mendengarkan kaset-kaset mereka. Kecuali orang yang ingin membantah dan menjelaskan kerusakan mereka.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 111, catatan kaki).

Hingga siapa saja yang memuji, memuliakan, mengagungkan kitab-kitab mereka, atau memberi udzur (maaf) untuk mereka, maka samakan dia dengan mereka (ahlul bid’ah dan ahlu ahwa’), dan tidak ada kemuliaan bagi mereka semua.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 133, catatan kaki).

Hati-hati engkau terhadap kitab-kitab ini. Ini adalah kitab-kitab bid’ah dan sesat, berpeganglah kalian kepada atsar.” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 112, catatan kaki).

Sungguh sikap tercela dengan menganggap golongan/ulama itu sesat, hanya karena dalam beberapa hal ijtihad mereka berseberangan dengan salafi. Dalam masalah-masalah furu’iyah khilafiyah bisa saja perbedaan ijtihad, para sahabat seringkali berbeda pendapat dalam banyak hal, yang terkait kepada masalah-masalah furu’. Mujtahid-mujtahid besar dalam Islampun mempunyai perbedaan pendapat diberbagai aspek agama Islam, tetapi sekali lagi masalah yang menjadi dasar perbedaan tersebut adalah dalam furu’. Tetapi mereka tidak saling menyesatkan dan membid’ahkan. (www.hayatulislam.net , Asif Khan, Kritik: Terbagi ke Dalam 73 Golongan).

Kasus yang sangat populer di zaman Rasulullah SAW dimana diyakini sebagai landasan dibolehkannya perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah furu’, adalah saat perang Khandaq. Di mana para sahabat memahami berbeda perintah Rasulullah SAW :

Janganlah salah seorang dari kalian melaksanakan shalat ashar kecuali di (daerah) Bani Quraizhah.” (HR Bukhari)

Para sahabat ada yang shalat Ashar dalam perjalanan, ada juga yang mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga sampai di Bani Quraizhah, maka Rasulullah SAW-pun mendiamkan (taqrir) kedua kelompok sahabat yang berbeda itu (Lihat Muhammad Asy-Syuwaiki, Masalah-Masalah Khilafiyah di Antara Gerakan Islam, hal. 14). Hal ini diyakini bahwa dibolehkan terjadinya ikhtilaf dalam masalah furu’ dan membantah dengan tegas pernyataan salafi bahwa “Kebenaran hanya satu” karena dalam kasus melaksanakan shalat ‘Ashar yang berbeda di antara dua kelompok sahabat ini didiamkan (taqrir) oleh Rasulullah SAW atau kedua kelompok sahabat itu benar dan tidak ada yang salah.

Khatimah:

1. Salafi merasa dirinya yang paling benar, karena mereka meyakini kebenaran hanya satu, indikasi yang terdapat dalam hadits hanya satu golongan yang masuk syurga dari 73 golongan adalah golongan salafi, serta salafi menganggap sesat dan bid’ah golongan yang berseberangan ijtihad dengan mereka. Sehingga sulit bagi salafi untuk menerima ijtihad yang berbeda dengan mereka dan sangat taqlid dengan ijtihad ulama-ulama mereka.

2. Salafi cenderung mencela golongan lain, karena salafi diperintahkan untuk mengungkapkan semua keburukan golongan sesat dan bid’ah itu dan dilarang mengungkapkan secuil-pun kebaikan mereka. Karena mengungkapkan kebaikan mereka akan menyebabkan orang lain mengikuti golongan sesat dan bid’ah itu. Sehingga tidak heran jika buku-buku dan website-website salafi banyak memuat celaan sesat dan bid’ah kepada golongan lain.

3. Salafi juga melarang untuk berkasih sayang, berteman dengan golongan selain mereka, bahkan tidak boleh shalat di belakang mereka, salafi menyesatkan ulama yang mereka anggap ahlu bid’ah, melarang memuji, mengagungkan, membaca kitab dan mendengarkan kaset ulama-ulama tersebut. Sehingga salafi akan mengalami kesulitan dalam menjalin ukhuwah dengan golongan lain, malah akan menimbulkan pertentangan dan perpecahan dengan golongan lain.

4. Salafi akan menghambat gerak da’wah golongan yang dianggap sesat dan bid’ah oleh mereka, bahkan harus memusnahkan mereka (golongan da’wah dan partai politik), karena golongan itu dianggap akan meracuni umat dan menimbulkan perpecahan. Sehingga akan timbul benturan di medan da’wah antara salafi dengan golongan lain, karena golongan lain merasa dihalang-halangi saat berda’wah di area-area yang dikuasai oleh salafi.

Diharapkan setelah memahami karakter salafi ini, kita mampu mengantisipasi menghadapi golongan seperti ini. Tetapi jangan kaget, jika penjelasan dari kitab-kitab salafi di atas, akan ditemukan pertentangan dalam kitab-kitab salafi yang lain. Karena di antara ulama salafi sendiri bisa terjadi saling pertentangan, seperti halnya terpecahnya salafi dalam beberapa golongan.

 

Penulis : Abu Rifa Al-Puari

Wallahua’lam

 

 

Categories: Islam Tags: , ,

Hukum Taqlid ( Mengikuti Sesuatu tanpa mengetahui sumber hukumnya )


Petikan di bawah di ambil dari Kitab Alla mazhabiyyatu Akhtaru Bid’atin Tuhaddidu Asy Syariiata Al Islamiyyah karangan Dr Said Ramadhan al Buthi untuk berhujjah dengan Kitab Halil Muslimu Mulzamun Bittiba’i Mazhabin Mua’yyanin Minal Madzaahibil Arba’ah karangan Syeikh Khajandi (Muhammad Sulthan Al Ma’shumi Al Khajandi Al Makki) – ulama wahhabi terkenal yang juga guru besar Masjidil Haram yang telah menghukumi bahwa mengikut mazhab itu adalah haram dan mempromosikan bebas mazhab (Alla mazhabiyyah).

Taqlid ialah mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui hujah dan yang menunjukkan kebenaran pendapat tersebut. Dalam hal ini, tidak ada bedanya taqlid dan ittiba’ karena kedua-duanya mempunyai arti yang sama. Read more…

Categories: Islam, Kajian FIqh, Umum Tags: , , ,

Allah Mendengar setiap do’a HambaNya


Allah Yang Maha kuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang, telah berfirman
dalam al-Qur’an bahwa Dia dekat dengan manusia dan akan mengabulkan
permohonan orang-orang yang berdoa kepada-Nya. Adapun salah satu ayat yang
membicarakan masalah tersebut adalah:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya
Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi-Ku, dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.s.
al-Baqarah: 186).

Sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, Allah itu dekat kepada setiap
hambanya. Dia Maha Mengetahui keinginan, perasaan, pikiran, kata-kata yang
diucapkan, bisikan, bahkan apa saja yang tersembunyi dalam hati setiap
manusia. Dengan demikian, Allah Mendengar dan Mengetahui setiap hambanya yang
berpaling kepada-Nya dan berdoa kepada-Nya. Inilah karunia Allah kepada
manusia dan sebagai wujud dari kasih-sayang-Nya, rahmat-Nya, dan
kekuasaan-Nya yang tiada batas.

Allah memiliki kekuasaan dan pengetahuan yang tiada batas. Dialah Pemilik
segala sesuatu di seluruh alam semesta. Setiap makhluk, setiap benda, dari
orang-orang yang tampaknya paling kuat hingga orang-orang yang sangat kaya,
dari binatang-binatang yang sangat besar hingga yang sangat kecil yang
mendiami bumi, semuanya milik Allah dan semuanya berada dalam kehendak-Nya
dan pegaturan-Nya yang mutlak.

Seseorang yang beriman terhadap kebenaran ini dapat berdoa kepada Allah
mengenai apa saja dan dapat berharap bahwa Allah akan mengabulkan
doa-doanya. Misalnya, seseorang yang mengidap penyakit yang tidak dapat
disembuhkan tentu saja akan berusaha untuk melakukan berbagai macam
pengobatan. Namun ketika mengetahui bahwa hanya Allah yang dapat memberikan
kesehatan, lalu ia pun berdoa kepada-Nya memohon kesembuhan. Demikian pula,
orang yang mengalami ketakutan atau kecemasan dapat berdoa kepada Allah agar
terbebas dari ketakutan dan kecemasan. Seseorang yang menghadapi kesulitan
dalam menyelesaikan pekerjaan dapat berpaling kepada Allah untuk
menghilangkan kesulitannya. Seseorang dapat berdoa kepada Allah untuk
memohon berbagai hal yang tidak terhitung banyaknya seperti untuk memohon
bimbingan kepada jalan yang benar, untuk dimasukkan ke dalam surga
bersama-sama orang-orang beriman lainnya, agar lebih meyakini surga, neraka,
Kekuasaan Allah, untuk kesehatan, dan sebagainya. Inilah yang telah
ditekankan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

“Maukah aku beritahukan kepadamu suatu senjata yang dapat melindungimu dari
kejahatan musuh dan agar rezekimu bertambah?” Mereka berkata, “Tentu saja
wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Serulah Tuhanmu siang dan malam, karena
‘doa’ itu merupakan senjata bagi orang yang
beriman.”

Namun demikian, terdapat rahasia lain di balik apa yang diungkapkan dalam
al-Qur’an yang perlu kita bicarakan dalam masalah ini. Sebagaimana Allah
telah menyatakan dalam ayat:

“Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan.
Dan manusia itu tergesa-gesa.” (Q.s. al-Isra’:11).

Tidak setiap doa yang dipanjatkan oleh manusia itu bermanfaat. Misalnya
seseorang memohon kepada Allah agar diberi harta dan kekayaan yang banyak
untuk anak-anaknya kelak. Akan tetapi Allah tidak melihat kebaikan di dalam
doanya itu. Yakni, kekayaan yang banyak itu justru dapat memalingkan
anak-anak tersebut dari Allah. Dalam hal ini, Allah mendengar doa orang
tersebut, menerimanya sebagai amal ibadah, dan mengabulkannya dengan cara
yang sebaik-baiknya. Sebagai contoh lainnya, seseorang berdoa agar tidak
terlambat dalam memenuhi perjanjian. Namun tampaknya lebih baik baginya jika
ia sampai di tujuan setelah waktu yang ditentukan, karena ia dapat bertemu
dengan seseorang yang memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat untuk
kehidupan yang abadi. Allah mengetahui masalah ini, dan Dia mengabulkan doa
bukan berdasarkan apa yang dipikirkan orang itu, tetapi dengan cara yang
terbaik. Yakni, Allah mendengar doa orang itu, tetapi jika Dia melihat tidak
ada kebaikan dalam doanya itu, Dia memberikan apa yang terbaik bagi orang
itu. Tentu saja hal ini merupakan rahasia yang sangat penting.

Ketika doa tidak dikabulkan, orang-orang tidak menyadari tentang rahasia
ini, mereka mengira bahwa Allah tidak mendengar doa mereka. Sesungguhnya hal
ini merupakan keyakinan orang-orang bodoh yang sesat, karena “Allah itu
lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri.” (Q.s. Qaf: 16).
Dia Maha Mengetahui perkataan apa saja yang diucapkan, apa saja yang
dipikirkan, dan peristiwa apa saja yang dialami seseorang. Bahkan ketika
seseorang tertidur, Allah mengetahui apa yang ia alami dalam mimpinya. Allah
adalah Yang menciptakan segala sesuatu. Oleh karena itu, kapan saja
seseorang berdoa kepada Allah, ia harus menyadari bahwa Allah akan menerima
doanya pada saat yang paling tepat dan akan memberikan apa yang terbaik
baginya.

Doa, di samping sebagai bentuk amal ibadah, juga merupakan karunia Allah
yang sangat berharga bagi manusia, karena melalui doa, Allah akan memberikan
kepada manusia sesuatu yang Dia pandang baik dan bermanfaat bagi dirinya.
Allah menyatakan pentingnya doa dalam sebuah ayat:

“Katakanlah: ‘Tuhanku tidak mengindahkan kamu, andaikan tidak karena doamu.
Tetapi kamu sungguh telah mendustakan-Nya, karena itu kelak azab pasti akan
menimpamu’.” (Q.s. al-Furqan: 77)

” Allah Mengabulkan Doa Orang-orang yang Menderita dan Berada dalam
Kesulitan

Doa adalah saat-saat ketika kedekatan seseorang dengan Allah dapat
dirasakan. Sebagai hamba Allah, seseorang sangat memerlukan Dia. Hal ini
karena ketika seseorang berdoa, ia akan menyadari betapa lemahnya dan betapa
hinanya dirinya di hadapan Allah, dan ia menyadari bahwa tak seorang pun
yang dapat menolongnya kecuali Allah. Keikhlasan dan kesungguhan seseorang
dalam berdoa tergantung pada sejauh mana ia merasa memerlukan. Misalnya,
setiap orang berdoa kepada Allah untuk memohon keselamatan di dunia. Namun,
orang yang merasa putus asa di tengah-tengah medan perang akan berdoa lebih
sungguh-sungguh dan dengan berendah diri di hadapan Allah. Demikian pula,
ketika terjadi badai yang menerpa sebuah kapal atau pesawat terbang sehingga
terancam bahaya, orang-orang akan memohon kepada Allah dengan berendah diri.
Mereka akan ikhlas dan berserah diri dalam berdoa. Allah menceritakan
keadaan ini dalam sebuah ayat:

“Katakanlah: Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat
dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dengan suara
yang lembut: ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini,
tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur’.” (Q.s. al-An’am: 63).

Di dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia agar berdoa dengan
merendahkan diri:

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.s.
al-A’raf: 55).

Dalam ayat lainnya, Allah menyatakan bahwa Dia mengabulkan doa orang-orang
yang teraniaya dan orang-orang yang berada dalam kesusahan:

“Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia
berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu
sebagai khalifah di bumi? Apakah ada tuhan lain selain Allah? Sedikit sekali
kamu yang memperhatikannya.” (Q.s. an-Naml: 62).

Tentu saja orang tidak harus berada dalam keadaan bahaya ketika berdoa
kepada Allah. Contoh-contoh ini diberikan agar orang-orang dapat memahami
maknanya sehingga mereka berdoa dengan ikhlas dan merenungkan saat kematian,
ketika seseorang tidak lagi merasa lalai sehingga mereka berpaling kepada
Allah dengan keikhlasan yang dalam. Dalam pada itu, orang-orang yang
beriman, yang dengan sepenuh hati berbakti kepada Allah, selalu menyadari
kelemahan mereka dan kekurangan mereka, mereka selalu berpaling kepada Allah
dengan ikhlas, sekalipun mereka tidak berada dalam keadaan bahaya. Ini
merupakan ciri penting yang membedakan mereka dengan orang-orang kafir dan
orang-orang yang imannya lemah.

Hukum Hadiah Bacaan Al-Quran Kepada Mayat


Persoalan mengenai bid’ah sebenarnya telah diselesaikan oleh ulama terdahulu dan sekarang ini dimunculkan kembali oleh golongan yang tidak memahami khilaf ijtihad ulama yang kemudian mengatakan bahwa ia adalah bid’ah sesat walaupun sudah ada dalil dan hujjah dari al Quran dan hadith.


Sekiranya ada yang mengatakan bacaan al Quran dan doa yang dipanjatkan seorang muslim kepada orang muslim yang telah meninggal itu tidak sampai kepada simayyit, maka tidak patut mengatakan hal itu sebagai bid’ah, kerana hasil ijtihad yang mengatakan hukum bacaan Alqur-an yang dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia itu” boleh” adalah hasil dari pengkajian ulama dari al Quran dan hadith sebelum mengeluarkan hukum bahwa sampainya pahala kepada si mayyit. Ulama terdahulu apabila berbeda pendapat, mereka tidak akan membid’ahkan pendapat ulama yang membolehkan.


Menurut Prof Dr Wahbah az Zuhaili Mazhab Imam Ahmad dan Jumhur salaf dan mazhab empat dan di antara mereka Malikiyah dan Syafi’iyah yang kemudian berpendapat sampainya pahala amalan tersebut. Read more…

Pengertian Tawassul dan Istighotsah


Bismillahirrahmanirrahim, Allohumma       sholli ‘alaa sayyidinaa   Muhammadin wa’alaa   alihii   washohbihii ajma’in,   ‘amma     ba’du

 Dengan   memohon   Rahmat-Nya,     Saya   coba   mengajak kepada  semua   saudara2   ku semua yang di Rahmati Allah SWT,   untuk   mengkaji   ilmu tentang  legalitas “Tawassul / Istighatsah”   yang        sesuai dengan ajaran syariat Islam agar kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek Tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam jurang bid’ah dan kesesatan, seperti yang dapat kita temukan dalam masyarakat kejawen di Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang ke-jumud-an dalam menentukan obyek Tawassul / Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sekte Wahabisme, imbas dari kerancuan metodologi memahami teks. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep Tawassul/Istighatsah. Tentu kedua bentuk ekstrimitas tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Islam.

Hakekat “Tawassul” merupakan hal yang telah menjadikan kejelasan dalam Islam. Al-Quran sebagai sumber utama agama Islam dalam sebuah ayatnya menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maidah: 35). Dalam ayat tadi Allah SWT menjelaskan bahwa ketakwaan dan jihad merupakan sarana Read more…

Misteri kematian para saintis Dunia bag 1


Seorang tokoh sepuh dalam pergerakan Islam dan mendapat berbagai “warisan” yang tidak ternilai harganya. Beliau membeberkan Salah satu warisan itu yaitu berupa “Program Delete” atau Program Penghapusan yang dilakukan konspiran globalis terhadap siapa pun yang dikehendaki mereka.

“Mereka, musuh-musuh Islam itu, telah lama membuat satu daftar siapa saja orang yang dianggap musuh besar, musuh yang bisa dirangkul atau dimanfaatkan (ditunggangi), dan musuh yang tidak perlu ditakutkan. Kriteria musuh yang tidak perlu ditakutkan adalah siapa pun yang menentang kerja mereka namun musuh-musuh itu tidak mempunyai kemampuan apa-apa selain mengutarakan penentangannya. Mereka bisanya hanya ikut demo misalnya, Read more…

Categories: Islam, Tak Berkategori, Umum

Kiai Nuril: Dai harus Mampu Jelaskan Pluralisme


Para juru dakwah agama (dai dan daiyah) harus mampu menjelaskan kepada masyarakat mengenai arti atau makna pluralisme yang sebenarnya. para dai harus mampu menerangkan bahwa Islam mengakui dan menghargai adanya pluralitas (kemajemuk) dari sisi sosiologis. Yakni kemajemukan dan perbedaan sosial, baik mengenai asal-usul, tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan. Demikian dinyatakan Ketua Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) KH A.N. Nurul Huda dihadapan para peserta Halaqoh Dakwah LDNU VI di Jakarta, Sabtu (23/1). Menurut Kiai Nuril, para dai berkewajiban menjelaskan kepada masyarakat agar tidak terjadi salah pengertian mengenai pluralisme. “Bahwa pluralisme bukan berarti kita menghargai orang-orang yang pemikirannya melecehkan agama. Jangan sampai terjadi salah paham, orang melecehkan agama dengan alasan pluralisme. Bagaimana pun kita tidak bisa mentolelir pelecehan dan penodaan agama,” tutur Kiai Nuril. Lebih lanjut Kiai Nuril menjelaskan, makna pluralisme sering disalahartikan sebagai pengakuan terhadap segala pemelencengan norma dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bahkan tidak jarang pluralisme digunakan sebagai kedok untuk melanggar ketentuan-ketentuan disepakati negara. “Misalnya, akhir-akhir ini, ada orang-orang yang dengan dalih pluralisme kemudian berbuat semaunya, atau tidak mau melaksanakan ketentuan-ketentuan dan ekwajiban-kewajiban agama. Ini kan namanya pemahaman yang salah tentang pluralisme,” tandas Kiai Nuril. Karenanya, Kiai uril berharap, para dai dapat memberikan pemahaman yang benar kepada amsyarakat agar tidak terjadi hal-hal yang membahayakan keutuhan dan keragaman budaya bangsa, tanpa melanggar norma-norma susila dan agama. (NUOL)

Sumber : Pesantren Buntet